Saya
masih ingat untuk melihat kelemahan mendasar para petani kita yang
memiliki rata-rata lahan sangat sempit yaitu kurang dari 0.25 ha.
Karena proses bertambahnya jumlah penduduk, pewarisan dan alih fungsi
lahan, kepemilikan lahan pertanian pada dekade ini diperkirakan
tinggal 0.1 ha per keluarga. Tetapi apakah ini berarti produksi
pertanian kita akan semakin turun, dan kita semakin tergantung pada
impor bahan pangan kedepan ?. Saya melihat peluang lain yang
sebaliknya.
Bukan
masalah luas kepemilikan lahan ini yang menjadi kendala dalam
pemenuhan kebutuhan bahan pangan kita, tetapi pola pikir kita-lah
yang bisa jadi membatasinya.
Pekan
lalu saya diundang untuk datang dan memberi masukan ke salah satu
sentra produksi pangan nasional kita oleh beberapa kelompok tani.
Kami rapat di bangunan yang disiapkan untuk acara semacam ini di
pinggiran sawah yang masih sangat luas. Tidak sulit untuk
mengumpulkan 100 hektare sawah dari para kelompok tani ini, sejauh
mata memandang yang kita lihat adalah padi.
Jadi
kendala kepemilikan lahan yang sempit seperti tersebut diatas tidak
terjadi disini. Tetapi mereka ternyata juga memiliki masalah yang
sama dengan rata-rata petani Indonesia pada umumnya, tingkat
penghasilannya rendah dan otomatis daya belinya juga rendah.
Bahkan
jago-jago pertanian pada jamannya – yang di era tahun 80-an para
petani yang saya temui tersebut sempat diundang Pak Harto (Presiden
RI Waktu itu) ke Istana karena prestasinya, kini kondisinya sami
mawon.
Setiap hektar lahan mereka menghasilkan padi yang hanya separuh dari
waktu mereka (atau bapak mereka) mendapatkan penghargaan. Padahal
biaya untuk memproduksi padi per tonnya jelas terus melonjak karena
faktor inflasi yang luar biasa selama 30 tahun terakhir.
Apa
gerangan yang terjadi ?, hanya sehari saya keliling sawah disana –
tetapi masalah itu mulai terbayang dengan jelas. Rumah-rumah mereka,
pagar-pagar pinggir jalan dan bahkan di pohon-pohon pinggir sawah –
di penuhi oleh iklan, mirip Jakarta menjelang Pilkada. Bedanya kalau
di Jakarta yang membanjiri adalah foto para Cagub dan Wagub-nya, di
sana yang membanjiri adalah iklan pupuk, pestisida, insektisida dan
sejenisnya. Mereka dijadikan target pasar yang polos dan empuk oleh
para konglomerasi industry penunjang pertanian dunia.
Pola
pikir yang sengaja ditanamkan ke otak mereka bahwa bertani adalah
dengan pupuk, pestisida dan insektisida kimia, yang semuanya dibeli
dari pabrik-pabrik raksasa inilah dugaan saya yang melonjakkan biaya
produksi mereka dan pada saat yang bersamaan menurunkan fertilitas
lahan mereka secara terus menerus dalam jangka panjang.
Maka
perubahan pola pikir inilah yang saya tawarkan ke mereka, bahwa
bertani dan meningkatkan hasil pertanian tidak harus menggunakan
pupuk kimia produksi pabrik. Mengusir hama-pun tidak harus dengan
insektisida dan pestisida yang mahal dan merusak. Lantas apa
solusinya ?, masih perlu terus dicari dan dicoba bersama – tetapi
kalau mereka mau merubah pola pikirnya – saya bilang ke mereka
bahwa saya akan dampingi mereka dalam proses pencariannya. Bahkan
saya sampaikan juga bahwa saya mau ikut mencobanya di daerah mereka
dan menanggung risiko bersama mereka.
Inti
dari percobaan ini adalah apa yang disebut permaculture
yang berasal dari istilah permanent
agricultural
atau bahkan bisa juga berasal dari permanent
culture
; yaitu merancang bangun ulang agar lahan-lahan pertanian dapat
‘menyuburkan kembali dirinya sendiri’ seperti ecosystem
aslinya dahulu – sebelum produk-produk industry mencemarinya. Untuk
mengawali teknis detailnya saya ajak para pentolan petani mereka
untuk belajar di laboratorium pengembangan kita di Boyolali, dimana
pupuk-pupuk organic, insektisida dan pestisida organic sudah mulai
kita coba.
Bagi
Anda yang bukan petani, garis besar dari konsep rancang bangun
permaculture
ini
terdiri dari 12 pendekatan berikut – yang juga akan berguna untuk
solusi masalah-masalah lainnya;
1.
Amati
dan Kerjakan : memperhatikan dan memberi solusi yang sesuai untuk
daerah/kasus yang terkait.
2.
Tangkap
dan Simpan : Sumber daya yang selama ini terbuang dikumpulkan, diolah
untuk kebutuhan lain dan disimpan untuk bisa digunakan pada waktunya.
3.
Ukur
dan Tingkatkan : Segala upaya yang dilakukan diukur dan ditingkatkan
hasilnya.
4.
Atur
dan Perbaiki : disiplin dalam menerapkan aturan sendiri dan
mengkoreksinya bila perlu.
5.
Hargai
dan Gunakan yang Terbarukan : memanfaatkan yang ada di alam sekitar,
bukan mendatangkan dari luar yang harus dibeli mahal.
6.
Olah
dan Tidak Nyampah : semua ada manfaatnya, temukan !.
7.
Pelajari
Pola Alam dan Ikuti : alam ciptaanNya memiliki pola-pola yang indah
untuk menjaga kestabilan dan kelangsungannya, kita tinggal
mempelajari dan mengikutinya.
8.
Integrasikan
dan jangan Segregasikan : beri peran yang tepat untuk masing-masing
komponen, jangan memisah-misahkannya.
9.
Mulai
dari yang Kecil dan Jangan memaksakan Untuk Segera Besar: mulai beri
perubahan kecil dari solusi sederhana yang benar-benar bekerja.
Project kecil yang jalan jauh lebih baik dari project besar yang
tidak jalan.
10.
Keanekaragaman
Bukan Keseragaman : sebar resiko untuk hasil optimal, jangan
tergantung pada satu atau sedikit hal.
11.
Lihat
Kelebihan dan Tutup Kekurangan : ambil yang terbaik dan gabungkan
masing-masing peran, tutup kekurangan yang satu dengan kelebihan yang
lain.
12.
Respon
Perubahan dan Tidak Menolaknya : mengamati perubahan dan merespon-nya
dengan tepat dan pada waktu yang tepat akan lebih baik ketimbang
bersikukuh menolak perubahan jaman.
Ketika
saya menguraikan detilnya dan mulai merancang aplikasinya, timbul
pertanyaan – apakah solusi ini hanya akan efektif untuk lahan
pertanian yang luas seperti milik kelompok tani tersebut di
atas?.
Jawaban
saya, oh tidak. Solusi ini insyaallah juga cocok untuk para petani
yang berlahan sempit ataupun bahkan penduduk perkotaan yang tidak
memiliki lahan.
Ada
konsep yang disebut microponics
untuk menggambarkan peluang halaman rumah kita menjadi sentra
produksi pangan kita sendiri. Tekniknya bisa melalui hydroponics
, aeroponics , vertical farming
dlsb. Teknis-teknisnya insyaallah akan saya jelaskan pada waktunya,
saat percobaan-percobaan kita mulai membawa hasil.
Njilmet
dan perlu teknologi tinggi ?, tidak harus. Di jaman ketika teknologi
sudah bisa mengantar manusia untuk jalan-jalan di ruang angkasa yang
tanpa batas, ketika microprocessor sudah bisa dibuat dalam kapasitas
terabytes,
masa kita tidak bisa memproduksi pangan untuk kita sendiri dari
sumber alam yang melimpah ciptaanNya ?.
Bila
luas lahan memang bukan milik kita, luasnya pikiran harus bisa
menjadi budaya. Meskipun hidup terhimpit di lahan sempit, tidak
berarti pikiran kita harus ikut menyempit karenanya. Kita mulai saja
dari yang kita bisa, dan biarlah Allah yang mengajari kita apa yang
kita belum bisa…InsyaAllah.