LABUHAN PURA PAKUALAMAN
Hajat
Dalem Labuhan Kadipaten Pakualaman
Kadipaten
Pakualaman akan menyelenggarakan upacara adat Hajad Dalem Labuhan
Kadipaten Pakualaman. Inti dari upacara adat ini adalah memanjatkan
doa dan harapan bersama agar loro-loroning
atunggal Keraton
dan Puro Pakualamn serta masyarakat Daerah Istmewa Yogyakarta
mendapatkan karunia, ketentraman dan berkah menuju segalanya yang
lebih baik dari Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ini adalah bentuk
pelaksanaan ritual rutin tahunan budaya leluhur yang selalu
dilaksanakan bertepatan dengan 10 Muharram atau 10 Sura menurut
penanggalan Jawa. Upacara Adat Labuhan/Hajad Dalem Labuhan Kadipaten
Pakualaman dilaksanakan di Pantai Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada hari Sabtu, 24 November
2012 mulai pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai.
Puro
Pakualaman akan melabuh atau melarung beberapa uborampe
sesaji seperti hasil bumi, kain kebesaran pangeran, serta kelengkapan
lainnya seperti yang selama ini sudah menjadi tradisi. Labuhan ini
merupakan wujud rasa syukur dari keluarga besar Puro Pakualaman
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki, kesehatan,
keselamatan dan kesejahteraan yang diterimanya, serta doa bagi para
leluhur.
Upacara
labuhan itu dimulai dengan upacara kecil di Pesanggrahan Puro
Pakualaman di Desa Glagah, Temon, Kulon Progo (arah menuju Pantai
Glagah dari jalan raya Wates – Purworejo). Uborampe
yang
akan dilabuh tersaji atas tiga gunungan, yaitu yang berupa hasil bumi
yang terdiri atas aneka macam buah dan umbi-umbian, gunungan berupa
padi, serta gunungan yang disebut pengagem
(pakaian)
yang terdiri atas kain dan selendang. Sesudah memanjatkan doa yang
diikuti seluruh peserta labuhan yang terdiri dari keluarga keraton
Puro Pakualaman, juru kunci Puro Pakualam, Prajurit Lombok Abang dan
Prajurit Pangkir serta masyarakat umum ketiga gunungan dan seluruh
peserta akan berangkat berarak-arak menuju Pantai Glagah yang
berjarak sekitar 2 km dari pesanggrahan Puro Pakualaman.
Acara
puncaknya warga masyarakat yang mengikuti bisa mendapatkan/ngalap
berkah
gunungan yang dibuang ke laut. Terdapat keyakinan jika mendapatkan
beberapa bagian sesaji/uborampe
yang
sudah didoakan dalam labuhan maka akan mendapatkan berkah kebaikan
dalam kehidupan. Esensi utama dari labuhan ini adalah harapan agar
masyarakat selalu menjaga tradisi budaya dan selalu bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa ata segala pemberiann-Nya.
REBO
PUNGKASAN KEMBUL DHAHAR SEWU DULUR
Tradisi
Kembul Sewu Dulu Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan merupakan
tradisi turun-temurun yang dilaksanakan di Bendung Kayangan di Dusun
Turus, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Bendungan ini
menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendung ini
menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan
daerah Purworejo. Bendungan in bernama Kayangan karena salah satu
sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada Bukit atau Gunung
Kayangan. Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai
jasa Mbah Bei Kayangan setiap hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan
Sapar bersamaan dengan tradisi merti Bendung Kayangan yang lebih
dikenal dengan nama Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan
Bendung Kayangan.
Konon
Mbah Bei Kayangan adalah seorang abdi dalem atau pengikut Prabu
Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai
Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang
sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Oleh warga
setempat Mbah Bei juga dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan.
Dalam pelariannya ini Mbah Bei beristirahat sekaligus bertapa di
pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Dalam pertapaannya Mbah
Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman,
area persawahan dan ladang di daerah itu. Mbah Bei juga mendapat
inisiatif untuk membangun bendungan secara manual khususnya untuk
memenuhi kebutuhan pasokan air selama musim kemarau yang akhirnya
membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan yang
dibuatnya. Pembuatan bendungan ini juga membawa kemakmuran bagi
banyak orang yang tinggal di sekitar Bendungan Kayangan, khusunya
pertanian.
Pada
awalnya upacara ini dilakukan secara sederhana berupa kenduri di
rumah Kepala Dusun namun berkat dukungan dari berbagai pihak baik itu
budayawan, seniman dan masyarakat upacara tradisi ini bisa
dilaksanakan dengan skala lebih besar dan lebih meriah. Muncul
gagasan merti bendungan yang dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksanaan upacara untuk ikut memeriahkan dan lebih menyatukan
masyarakat dan memberi rasa kebersamaan bagi banyak dusun yang
mendapatkan manfaat dari Bendung Kayangan. Acara merti bendungan
ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitar
Bendung Kayangan di antaranya adalah Dusun Gunturan, Njetis,
Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, Krikil, dan
lain-lain.
Tidak
ada informasi yang jelas mengenai tahun pembuatan Bendung Kayangan
namun bendungan ini jelas punya kontibusi yang sanagat vital untuk
pertanian di Kulon Progo bahkan sebelum Bendungan Kaliwabawang
dibuat. Bendungan tradisional ini pernah diperbaiki dan dibangun
secara permanen oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun
1905. Kabarnya Bendung Kayangan ini bisa mengairi 350 hektar sawah
dengan panenan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Sekalipun bendungan
ini masih berdiri tetapi bisa berfungsi lagi secara maksimal karena
kerusakan pintu air dan pendangkalan.
Upacara
tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini
biasanya dimulai dengan kirab kelompok kesenian, pembawa
sesaji dan kenduri, tamu undangan, dan masyarakat umum.
Para
peserta kirab secara bersama menuju ke lokasi bendungan dan berkumpul
di pinggir sungai, kemudian kelompok-kelompok kesenian melakukan
pentas seni di hadapan para tamu dan masyarakat umum.
Kesenian
tradisional yang dipentaskan di kompleks bendungan ini umumnya adalah
kuda lumping atau jatilan. Sesudah berpentas babak pertama mereka
akan memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai/bendungan tersebut
(Ngguyang Jaran). Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan
aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu
Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan
pelarisan bagi kelompok kuda lumping, diyakini bahwa jika kuda-kuda
lumping mereka dimandikan di bendungan tersebut maka grup atau
kelompok kuda lumping mereka akan mendapatkan banyak tanggapan, laku
atau laris. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan
masih hidup. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka akan
berpentas lagi.
Setelah
ritual memandikan kuda lumping acara dilanjutkan dengan kenduri
Saparan. Berbagai menu sesaji dan makanan tradisional yang dibawa
masyarakat dan sudah tertata rapi di pinggir bendungan dibagikan pada
seluruh pengunjung setelah didoakan oleh pemangku adat. Di samping
menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (Makan Bersama Seribu
Saudara) juga sebagai simbol dari rasa syukur warga kepada Tuhan yang
telah memberikan kemakmuran.
Keunikan
dari upacara ini adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi
liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang
tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan
panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang
Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk
tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa
tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan
semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk
acara spesial saja.
No comments:
Post a Comment