PLIK NANGGULAN 2 - SHOWROOM PETANI & UMKM KULON PROGO

PLIK NANGGULAN 2 MELAYANI:INTERNET-SALES-SERVICE-TRAINING-CONTENT DEVELOPMENT-SHOWROOM PETANI DAN UMKM UNTUK JASA PELAYANAN HUBUNGI PLIK NANGGULAN 2 DESA BANYUROTO KECAMATAN NANGGULAN KABUPATEN KULON PROGO DIY 55671-BERSAMA KITA MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

Tuesday 3 September 2013

ADAT DAN TRADISI DI KULON PROGO

LABUHAN PURA PAKUALAMAN




Hajat Dalem Labuhan Kadipaten Pakualaman
Kadipaten Pakualaman akan menyelenggarakan upacara adat Hajad Dalem Labuhan Kadipaten Pakualaman. Inti dari upacara adat ini adalah memanjatkan doa dan harapan bersama agar loro-loroning atunggal Keraton dan Puro Pakualamn serta masyarakat Daerah Istmewa Yogyakarta mendapatkan karunia, ketentraman dan berkah menuju segalanya yang lebih baik dari Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ini adalah bentuk pelaksanaan ritual rutin tahunan budaya leluhur yang selalu dilaksanakan bertepatan dengan 10 Muharram atau 10 Sura menurut penanggalan Jawa. Upacara Adat Labuhan/Hajad Dalem Labuhan Kadipaten Pakualaman dilaksanakan di Pantai Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada hari Sabtu, 24 November 2012 mulai pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai.
Puro Pakualaman akan melabuh atau melarung beberapa uborampe sesaji seperti hasil bumi, kain kebesaran pangeran, serta kelengkapan lainnya seperti yang selama ini sudah menjadi tradisi. Labuhan ini merupakan wujud rasa syukur dari keluarga besar Puro Pakualaman kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki, kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan yang diterimanya, serta doa bagi para leluhur.
Upacara labuhan itu dimulai dengan upacara kecil di Pesanggrahan Puro Pakualaman di Desa Glagah, Temon, Kulon Progo (arah menuju Pantai Glagah dari jalan raya Wates – Purworejo). Uborampe yang akan dilabuh tersaji atas tiga gunungan, yaitu yang berupa hasil bumi yang terdiri atas aneka macam buah dan umbi-umbian, gunungan berupa padi, serta gunungan yang disebut pengagem (pakaian) yang terdiri atas kain dan selendang. Sesudah memanjatkan doa yang diikuti seluruh peserta labuhan yang terdiri dari keluarga keraton Puro Pakualaman, juru kunci Puro Pakualam, Prajurit Lombok Abang dan Prajurit Pangkir serta masyarakat umum ketiga gunungan dan seluruh peserta akan berangkat berarak-arak menuju Pantai Glagah yang berjarak sekitar 2 km dari pesanggrahan Puro Pakualaman.
Acara puncaknya warga masyarakat yang mengikuti bisa mendapatkan/ngalap berkah gunungan yang dibuang ke laut. Terdapat keyakinan jika mendapatkan beberapa bagian sesaji/uborampe yang sudah didoakan dalam labuhan maka akan mendapatkan berkah kebaikan dalam kehidupan. Esensi utama dari labuhan ini adalah harapan agar masyarakat selalu menjaga tradisi budaya dan selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa ata segala pemberiann-Nya.


REBO PUNGKASAN KEMBUL DHAHAR SEWU DULUR


Tradisi Kembul Sewu Dulu Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan di Bendung Kayangan di Dusun Turus, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendung ini menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Bendungan in bernama Kayangan karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada Bukit atau Gunung Kayangan. Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan setiap hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar bersamaan dengan tradisi merti Bendung Kayangan yang lebih dikenal dengan nama Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan.
Konon Mbah Bei Kayangan adalah seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Oleh warga setempat Mbah Bei juga dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Dalam pelariannya ini Mbah Bei beristirahat sekaligus bertapa di pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Dalam pertapaannya Mbah Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan dan ladang di daerah itu. Mbah Bei juga  mendapat inisiatif untuk membangun bendungan secara manual khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasokan air selama musim kemarau yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan yang dibuatnya. Pembuatan bendungan ini juga membawa kemakmuran bagi banyak orang yang tinggal di sekitar Bendungan Kayangan, khusunya pertanian.
Pada awalnya upacara ini dilakukan secara sederhana berupa kenduri di rumah Kepala Dusun namun berkat dukungan dari berbagai pihak baik itu budayawan, seniman dan masyarakat upacara tradisi ini bisa dilaksanakan dengan skala lebih besar dan lebih meriah. Muncul gagasan merti bendungan yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan upacara untuk ikut memeriahkan dan lebih menyatukan masyarakat dan memberi rasa kebersamaan bagi banyak dusun yang mendapatkan manfaat dari Bendung Kayangan. Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitar Bendung Kayangan di antaranya adalah Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, Krikil, dan lain-lain.
Tidak ada informasi yang jelas mengenai tahun pembuatan Bendung Kayangan namun bendungan ini jelas punya kontibusi yang sanagat vital untuk pertanian di Kulon Progo bahkan sebelum Bendungan Kaliwabawang dibuat. Bendungan tradisional ini pernah diperbaiki dan dibangun secara permanen oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1905. Kabarnya Bendung Kayangan ini bisa mengairi 350 hektar sawah dengan panenan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Sekalipun bendungan ini masih berdiri tetapi bisa berfungsi lagi secara maksimal karena kerusakan pintu air dan pendangkalan.
Upacara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini biasanya dimulai dengan kirab kelompok  kesenian, pembawa sesaji dan kenduri, tamu undangan, dan masyarakat umum.
Para peserta kirab secara bersama menuju ke lokasi bendungan dan berkumpul di pinggir sungai, kemudian kelompok-kelompok kesenian melakukan pentas seni di hadapan para tamu dan masyarakat umum.
Kesenian tradisional yang dipentaskan di kompleks bendungan ini umumnya adalah kuda lumping atau jatilan. Sesudah berpentas babak pertama mereka akan memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai/bendungan tersebut (Ngguyang Jaran). Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping, diyakini bahwa jika kuda-kuda lumping mereka dimandikan di bendungan tersebut maka grup atau kelompok kuda lumping mereka akan mendapatkan banyak tanggapan, laku atau laris. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan masih hidup. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka akan berpentas lagi.
Setelah ritual memandikan kuda lumping acara dilanjutkan dengan kenduri Saparan. Berbagai menu sesaji dan makanan tradisional yang dibawa masyarakat dan sudah tertata rapi di pinggir bendungan dibagikan pada seluruh pengunjung setelah didoakan oleh pemangku adat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (Makan Bersama Seribu Saudara) juga sebagai simbol dari rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.
Keunikan dari upacara ini adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.





No comments:

Post a Comment